Perjalanan cinta bagai Rollercoaster
Dari Kenangan Pahit Menuju Harapan Bar
Pagi itu, aku terbangun dengan perasaan yang tak biasa. Entah mengapa, wajah Mama muncul begitu saja di pikiranku. Aku meraih ponsel dan langsung menelponnya. Di ujung sana, suara Mama terdengar hangat, dan aku bisa membayangkan wajahnya yang segar seperti biasa. Aku mulai bercerita—bukan tentang hari-hariku yang biasa, tapi tentang luka-luka lama yang tiba-tiba terkuak kembali.
Aku mengenang dua mantan pacarku, Ake dan Chrislyn. Dua lelaki yang pernah mengisi hari-hariku, tapi akhirnya meninggalkanku untuk menikah dengan orang lain. Awalnya, aku merasa kehilangan, tapi setelah kupikir lagi, aku tersenyum kecil. “aku juga nggak mau nikah sama mereka,” gumamku dalam hati. Dan hidup terus berjalan.
Lalu, aku menikah. Suami pertamaku, Rimbun, meninggalkanku dengan wanita lain. Pernikahan itu bertahan 1 tahun saja, tapi kini aku melihatnya sebagai berkah terselubung. Rimbun seperti benalu dalam hidupku—menguras tenaga dan semangatku. Ketika dia pergi, aku merasa lega.
Kemudian, aku menikah lagi dengan Thomas, pria asing yang akhirnya pulang ke negaranya dan tak pernah kembali ke Indonesia. Awalnya aku kecewa, tapi lama-kelamaan aku bersyukur. Karakternya yang pemarah membuatku tak pernah nyaman bersamanya.
Setelah tiga tahun hidup sendiri, aku berdoa. Aku meminta kepada Tuhan untuk mengirimkan pasangan yang sepadan, seseorang yang sefrekuensi denganku, yang bisa membuat hidup ini lebih indah, berwarna, dan penuh gairah. Aku ingin cinta yang nyata, bukan sekadar ilusi.
Suatu hari, di bank, aku bertemu dengan seorang bule Jerman. Dia ramah, menarik, dan aku mulai penasaran. Aku pernah mengajaknya kencan, tapi dia menolak dengan sopan. Beberapa waktu kemudian, dia bilang sudah punya pacar. Aku tersenyum kecut, menutup buku harapanku, dan melupakannya.
Temanku lalu menyarankan untuk mencoba Tinder. Aku memberanikan diri, berkencan beberapa kali, hingga bertemu seorang pria dari Amerika. Dia tak ganteng, tapi tinggi sekali. Awalnya, dia memperlakukanku dengan baik. Kami sering mengobrol, aku curhat, dia membalas. Tapi akhirnya, dia hanya PHP—pemberi harapan palsu. Butuh waktu lama untuk melupakannya, tapi aku berhasil.
Waktu terus berlalu. Aku sering mengunjungi Casablanca Sanur, tempat yang ramai dan penuh cerita. Di sana, aku bertemu bule Amerika lain. Kulitnya putih, tubuhnya gendut, dan dia selalu dikelilingi wanita-wanita penjaja diri.
Aku tak tertarik—dia pria kasar dan playboy. Tapi suatu hari, dia meluangkan waktu untuk menemaniku jalan dan mendengarkan ceritaku. Aku sempat goyah, tapi perilakunya yang tak konsisten membuatku jijik. Aku memilih melupakannya lagi.
Aku sempat galau, merasa kehilangan arah. Hingga akhirnya, aku pergi ke acara stand-up comedy. Awalnya, aku hanya penonton—datang, duduk, diam, dan mendengarkan. Tapi lama-kelamaan, aku memberanikan diri berbagi pengalaman. Di sana, ada seorang pria yang menarik perhatianku. Kulitnya hitam, rambutnya gondrong , dan dia pemenang kompetisi aplikasi pintu. Gesturnya tak percaya diri, tapi ada sesuatu yang membuatku penasaran.
Suatu hari, saat membahas materi stand up comedy, dia menatapku tajam. Aku agak takut, tapi juga tertarik. Kedua kalinya, di panggung, dia menatapku lagi, diam beberapa menit. Aku mencoba menghubunginya—WhatsApp, Instagram, bahkan TikTok—tapi dia tak pernah membalas. Pesanku dilihat, lalu dia blokir aku di semua media sosial. Aku bingung. Orang ini aneh. Perasaanku campur aduk—antara kecewa, marah, dan lega. Akhirnya, aku memutuskan untuk melupakannya.
Dari semua pengalaman ini, aku belajar satu hal: aku layak dicintai dengan jelas. Aku tak ingin lagi terjebak dalam hubungan yang membingungkan atau penuh drama. Aku ingin lelaki yang tegas, yang tahu apa yang dia mau, dan yang bisa membuatku merasa aman. Kini, aku menatap masa depan dengan harapan baru. Mungkin dia belum datang, tapi aku percaya, suatu hari, cinta yang sepadan akan menemukanku.
Komentar
Posting Komentar