Ibu-Ibu Penyeret Anjing:
Kisah Viral yang Mengguncang Hidupku
Setelah pandemi corona berlalu, aku memutuskan untuk mencari ketenangan dengan pindah ke Tukad Unda, sebuah tempat yang damai di tepi sungai. Di sana, aku bertemu dengan tetangga baru yang punya anjing bernama Emon. Emon adalah anjing yang unik—tipe pasif, pemalas, dan lebih suka rebahan daripada berlarian seperti anjing pada umumnya. Pemiliknya sering bepergian dan meninggalkan Emon sendirian, jadi tak heran kalau Emon akhirnya jadi sering mampir ke rumahku. Lama-lama, kami jadi akrab.
Suatu hari, aku punya ide yang menurutku saat itu cerdas: mengajak Emon jalan-jalan ke pantai. Karena aku naik motor, aku mengikat tali pengait Emon ke bagian belakang motor. Awalnya semua baik-baik saja. Emon tampak santai, meski dia tak banyak bergerak. Tapi di tengah perjalanan, tiba-tiba dia melompat! Aku langsung panik dan menghentikan motor. Melihat Emon yang tampak bingung, aku memutuskan untuk jalan pelan-pelan saja agar dia bisa mengikuti.
Tiba-tiba, dari belakang ada suara klakson keras disertai teriakan, “Bu! Bu! Itu anjingnya bukan? Anjingnya keseret!” Aku menoleh ke belakang, dan astaga—Emon memang terseret! Kakinya berdarah, dan dia terlihat lelet banget jalannya. Dengan perasaan bersalah, aku buru-buru mengangkat Emon ke atas motor dan kami pulang. Di dalam hati, aku berjanji bakal lebih hati-hati kalau bawa Emon jalan lagi.
Tapi cerita tak berhenti di situ. Keesokan harinya, tetanggaku, pemilik Emon, datang dengan wajah penuh tanda tanya. “Kamu lihat berita viral di Instagram hari ini nggak? Kayaknya itu motormu!” katanya. Aku bingung, lalu buru-buru buka Instagram. Dan benar saja, ada video yang memperlihatkan motorku—lengkap dengan Emon yang terseret di belakang. Taglinenya? “Ibu-Ibu Penyeret Anjing”. Dalam sekejap, videonya meledak. Viral ke seluruh jagat raya, terutama Indonesia.
Dunia seolah berbalik melawanku. Para dog lover membanjiri kolom komentar dengan teror, makian, dan sumpahan. Teleponku tak henti berdering dari nomor tak dikenal—ada yang mengancam, ada yang cuma ingin memaki. Aku panik, tapi tak tahu harus berbuat apa. Keesokan harinya, ketenangan rumahku terusik lagi saat polisi datang. “Ibu, ikut kami ke kantor polisi ya, ada yang perlu ditanyakan,” kata mereka dengan nada serius. Di kantor polisi, aku dihujani pertanyaan: “Kenapa Ibu bawa anjing begitu? Ibu sengaja menyakiti?” Aku cuma bisa menjelaskan bahwa itu kecelakaan, bukan kesengajaan. Tapi malam itu, mereka minta aku “menginap” di kantor polisi.
Hari berikutnya, keadaan makin gila. Sidang digelar, dan entah dari mana, muncul komunitas yang mengaku dari PBB—bukan Perserikatan Bangsa-Bangsa, tapi “Pecinta Binatang Betulan”. Mereka datang memberi semangat, bahkan menghubungi pengacara untuk membantuku. Aku tak tahu harus bersyukur atau malu. Setelah proses yang melelahkan, akhirnya vonis keluar: aku hanya kena tipiring—tindak pidana ringan. Hukumannya cuma denda kecil, tapi “hukuman” dari dunia maya jauh lebih berat.
Kini, setiap kali aku lelet naik motor, aku masih deg-degan kalau ada yang klakson dari belakang. Dan Emon? Dia masih tetanggaku yang setia, tetap malas bergerak, tapi kini aku janji tak akan ajak dia naik motor lagi. Kisah ini mungkin akan jadi legenda di Tukad Unda—dan pengingat bahwa niat baik pun bisa berakhir viral dengan cara yang tak pernah kubayangkan.
Komentar
Posting Komentar